Skip to main content

Menyongsong Era Revolusi Industri 4.0



REVOLUSI INDUSTRI
Industrialisasi dipandang sebagai langkah tepat dalam menjawab potret sejarah kemiskinan dunia. Industrialisasi mempermudah pekerjaan dilakukan dan pada gilirannya mengurangi kelaparan melalui ketersediaan makanan, memberikan ketersediaan akan kebutuhan pakaian, dan kebutuhan akan tempat tinggal bagi sebagian kalangan tertentu. Lebih jauh, memberikan masyarakatnya harapan hidup yang lebih panjang. Walaupun pada awalnya mengurbankan sebagian masyarakat lainnya sehingga muncul kesenjangan sosial serta menghasilkan kerusakan lingkungan, namun pada akhirnya industrialisasi mendatangkan kekayaan serta kenyamaan hidup karena dikelilingi oleh peralatan-peralatan yang user-friendly technologies.

Alltit, 2014, mengemukakan :

“Revolution literally means the turning of a wheel, but figuratively, it means a transformation that creates permanent change. The term “revolution” clearly is appropriate because of the magnitude of the changes, considered collectively, and because of their impact on the destiny of the entire world.
The phrase “industrial revolution” was used by Friedrich Engels in the 1840s.

Industrialization does not appear to be declining. On the contrary, it has „gone global‟ and continues to generate new thechnologies, such as the recent emergence of computers and the fascinating trend toward miniaturization.

Technological changes are often accompanied by new social and political arrangements, suc as urban decentralization.

Revolusi Industri I
Revolusi Industri I dimulai dari ditemukannya Mesin Uap oleh James Watt pada tahun 1764. Temuan ini berdampak pada pekerjaan-pekerjaan dalam pembuatan produk yang biasanya dilakukan oleh tenaga hewan dan kekuatan manusia, yang diperlengkapi dengan peralatan sederhana, kemudian beralih menggunakan mesin bertenaga uap. Hasilnya, barang-barang dapat diproduksi dalam waktu yang relatif singkat sehingga jumlahnya melimpah dengan harga murah. Revolusi Industri I membawa peralihan dari perekonomian berbasis pertanian menjadi perekonomian berbasis industri. Hal ini menandai dimulainya Era Mekanisasi.

Revolusi Industri II
Revolusi Industri 2.0 diawali dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Faraday & Maxwell sehubungan penggabungan kekuatan antara sistem magnetik dengan sistem elektrik yang menggerakan mesin proses produksi serta ditemukannya ban berjalan yang digunakan dalam proses perakitan di berbagai industri, sehingga dapat menghasilkan produk dalam jumlah besar (mass production). Lahirlah Era Elektrik.

Revolusi Industri III
Revolusi Industri 3.0 dimulai dari temuan internet dan komputer yang mempengaruhi pola komunikasi dan peredaran informasi di masyarakat. Juga temuan robot yang menggantikan tenaga kerja manusia dalam proses perakitan namun masih dikontrol oleh human operators. Dengan demikian, bergeser ke era otomatisasi.

Revolusi Industri IV 
Revolusi Industri 4.0 terjadi ketika robot yang terkoneksi dengan sistem komputer, diperlengkapi dengan machine learning algorithms yang dapat belajar dan mengontrol robot itu sendiri tanpa input dari human operators yang dikenal dengan istilah artificial intellegence (AI). Lebih jauh, AI dihubungkan dengan internet based society. Pada dasarnya, revolusi industri 4.0 merupakan penyatuan dunia online dengan industri produksi, sehingga merupakan revolusi industri digital. Revolusi industri 4.0 dalam dunia bisnis berdampak pada pekerjaan di masyarakat dan posisi dalam organisasi yang ada pada hari ini, yang tidak akan ada lagi dalam 50 tahun ke depan, Xing & Marwala (2016).

Sehubungan dengan keunggulannya, Xing dan Marwala (2016) mengemukakan bahwa revolusi industri 4 mengintegrasikan rantai nilai vertikal dan horisontal dengan menghubungkan secara digital semua unit produktif dalam perekonomian. Saat ini industri di dunia, Amerika, China, dan bahkan Eropa, tengah memasuki era revolusi industri ke 4, era digital, yang menggunakan peralatan otomatisasi dan internet of things (IoT). Sekertaris Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika dari Kementerian Perindustrian pada saat meresmikan Pameran Manufacturing Indonesia 2017 menyampaikan bahwa yang terutama bagi Indonesia saat ini adalah keharusan untuk mengembangkan dan membangun sektor Industri Permesinan yang merupakan pendukung dari seluruh proses produksi pada industri lainnya khususnya pada sektor Industri Manufaktur (Kompas 9 Desember 2017).

Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana efek dari pemanfaatan teknologi terhadap kinerja perusahaan. Kariuki (2005) memperoleh temuan bahwa e-banking memberikan dampak positif baik terhadap profitabilitas karena adanya peningkatan pangsa pasar akibat customized products, juga terhadap pelayanan yang lebih baik terhadap permintaan klien. Namun, dampaknya juga terjadi pada turnover tenaga kerja. Wachira (2013) mendasarkan penelitiannya pada Aduda & Kingoo (2012) yang menyatakan bahwa sebagian besar bank di Kenya melakukan investasi besar-besaran dalam teknologi informasi dan komunikasi. Dampaknya, kegiatan operasional bank menjadi lebih efisien. Dalam studinya, Wachire (2013) menguji pengaruh inovasi teknologi terhadap kinerja keuangan bank komersial di Kenya. Studi ini didorong oleh perubahan di sektor perbankan sejak pemerintah Kenya mengeluarkan deregulasi sehubungan dengan e-banking yang membuat banyak cabang bank ditutup dan diganti dengan yang disebut self serviced banking. Penelitiannya melibatkan profitabilitas sebagai variabel terikat dengan tiga variabel bebas, yaitu : customer independent technology (suatu teknologi yang membuat seorang konsumen dapat melakukan transaksi dengan bank tanpa berinteraksi dengan orang dalam institusi tersebut, seperti : ATM, phone banking dan internet banking), customer assisted technology (contohnya: customer relationship management system yang digunakan oleh customer service officer untuk mengenali dan memperbaharui profil konsumen dan memberikan respon terhadap kebutuhan konsumen saat dilakukan transaksi), dan customer transparent technology (teknologi yang mencerminkan operasi bank).

Hasilnya menunjukkan bahwa adanya korelasi positif dan kuat, antara kombinasi ketiga variabel bebas terhadap profitabilitas, sebesar p = 0,713 dengan 50,8% variasi profitabilitas yang dapat dijelaskan oleh model. Studi ini menggarisbawahi adanya kebutuhan bank di Kenya untuk melakukan investasi inovasi teknologi secara kontinu dalam mempertahankan kemampuan bersaing yang tinggi. Inovasi teknologi dalam decision support technological systems sektor perbankan merupakan faktor kunci dalam keunggulan bersaing. Teknologi inovasi di perbankan bersifat disruptif dikarenakan teknologi baru yang menggantikan itu sangat jauh berbeda dengan teknologi tradisional. Jadi, di satu sisi inovasi teknologi memberikan kontribusi terhadap kinerja bank. Namun, di sisi lain menyebabkan adanya tipe pekerjaan yang hilang, dalam hal ini adalah kasir bank.

Revolusi industri yang diawali dengan keberhasilan menemukan teknologi yang mempermudah kehidupan manusia, di kemudian hari menimbulkan permasalahan yang meresahkan. Keresahan tersebut bersumber dari dampak yang ditimbulkannya dalam masyarakat, yaitu hilangnya beberapa jenis pekerjaan tertentu, walaupun dari kemampuan memprediksi dan dari pengalaman sebelumnya, diantisipasi akan memunculkan jenis-jenis pekerjaan baru. Namun, ditengarai bahwa era digitalisasi sebagai hasil dari perubahan teknologi revolusi industri 4.0, dibandingkan revolusi industri sebelumnya, akan ada lebih banyak lagi perkerjaan-perkerjaan yang "hilang" karena digantikan oleh robot dengan kemampuan berpikir seperti manusia, artificial intellegence. Brynjolfsson & McAfee, 2014, menyakini bahwa perubahan teknologi telah menghabisi pekerjaan lebih cepat dari menciptakan pekerjaan.

Big Data dan Artificial Intelegent
Komputer telah lama berada di masyarakat, namun tidak menangkap perilaku penggunanya. Berbeda saat smartphone digunakan, perilaku konsumen dapat dikumpulkan dalam big data sebagai hasil perekaman aktifitas pergerakan melalui penggunaan GPS, hasil penggunaan akses terhadap internet, hasil komunikasi menggunakan media sosial, hasil interaksi antara konsumen dan produsen dalam menggunakan produk, dan hasil perilaku atau kebiasaan lainnya. Sehubungan dengan Big Data, Marr (2017:1-2) mengemukakan :

The term "big data" refers to the collection of all that data and our ability to use it to our advantage across a wide range of areas, including business. Computers, and particularly spreadsheets and data bases gaves us a way to store and organize data on a large scale, in an easily accessible way. Data today can cover everything from spreadsheets to photos, videos, sound recordings, written text and sensor data. Big data knows a lot about you. It goes way beyond Google knowing what you've searched for online and Facebook knowing who you're friends with and who you're in a relationship with. Your internet service provider knows every website you've ever visited even in private browsing. Facebook can also predict whether your relationship is going to last or, if you're single, when you're about to be in a relationship (and with whom). Facebook can also tell how intellegent you are, based on an analysis of your "likes".

Big data merekam semua data serta kegiatan yang pernah dilakukan untuk kemudian memprediksi apa yang mungkin terjadi di masa mendatang. Dengan demikian, Big Data memiliki jelajah yang jauh melampaui jaringan media sosial karena mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan moderen. Ketersediaan dan penggunaan big data tidaklah terhindarkan dalam bisnis mendatang. Banyak perusahaan konvensional yang sudah mulai beralih ke media online karena media tersebut lebih mudah diakses, baik perusahaan kecil ataupun perusahaan besar.

Marr (2017:8) mengungkapkan bahwa ada tiga area utama dalam bisnis yang sangat membutuhkan akses terhadap big data, yaitu improving decision making, improving operations, dan the monetizing of data:

1. Improving decision making 
Big data enables companies to collect better market and customer intellegence. With the ever-increasing amount of data available, companies are gaining much better insights into what customers want, what they use (and how), how they purchase goods, and what they think of those goods and services. And this information can be used to make better decisions across all areas of the business, from product and service design to sales and marketing and aftercare.

2. Improving Operations
Big data helps companies gain efficiencies and improve their operations. From tracking machine performance to optimizing delivery routes to even recruiting the very best talent, big data can improve internal efficiency and operations for almost any type of business and in many different departments. Companies have even strarted using sensors to track employee movements, stress, health, and even who they converse with and the tone of voice they use, and using that data to improve employee satisfaction and productivity.

3. The Monetizing of data Data 
also provides the opportunity for companies to build big data into their product offering-thereby monatizing the data itself.

Laporan riset Internasional Data Corporation (IDC) Worldwide Semiannual Big Data and Analytics Spending Guide yang dikutip oleh Mediana (2018) menunjukkan bahwa pendapatan bisnis teknologi dari hasil pengumpulan, pengolahan dan analisa data berukuran besar (big data analytic) secara global mencapai 150,8 milyar dollar AS (senilai Rp.2.023,70 tilyun) pada 2017, yang berarti naik 12,4% dibandingkan dengan tahun 2016. Informasi laporan riset tersebut menunjukkan manfaat yang sangat besar yang diperoleh dari big data analytic.

Sebuah studi dilakukan oleh Ross, Beath dan Quaadgrass (2013) sehubungan dengan pemanfaatan big data analitic - yang melibatkan tujuh kasus dan mewawancarai para eksekutif dari 51 perusahaan - untuk memahami bagaimana perusahaan memperoleh nilai bisnis dari pengelolaan data besar (big data analytic). Hasilnya, ternyata hanya sedikit diantara responden yang konsisten memanfaatkan big data analytic dalam pengambilan keputusan. Ross, Beath, dan Quaadgrass (2013) menyampaikan bahwa adalah penting melakukan pengumpulan data menjadi big data untuk kemudian melakukan pengolahan dan dilanjutkan dengan analisis terhadap big data tersebut. Tetapi yang lebih penting lagi adalah membangun kultur atau budaya, yaitu mengimplementasikan pengambilan keputusan berdasarkan data hasil pengumpulan, pengolahan dan analisa big data hingga ke tingkat karyawan.

Sehubungan dengan big data perilaku pelanggan, dimulai dari pengumpulan data pelanggan, kemudian dilakukan pengolahan data, dan selanjutnya dianalisa. Hasil analisa data yang diperoleh dari big data dapat digunakan dalam membaca perilaku pelanggan, menangkap perubahan perilaku pelanggan dan yang terpenting adalah memprediksi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang sudah ada maupun kecenderung kebutuhan yang akan muncul di masa mendatang.

Dengan adanya big data, maka artificial intellegence kemudian dapat lebih
dikembangkan lagi. Mirabito dan Morgenstern (2004) mendefinisikan : Kecerdasan buatan adalah suatu sistem berbasis komputer yang menduplikasi kemampuan paling penting manusia, yaitu berpikir dan mencari sebab. Proses berpikir tersebut mengacu pada teknologi jaringan saraf (neural network technology) yang berusaha menyimulasi secara elektronik bagaimana otak memproses informasi melalui jaringan saraf-saraf yang saling terhubung untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Mengolah big data menjadi informasi serta dimanfaatkan dalam kecerdasan buatan merupakan sebuah peluang yang disadari oleh beberapa perusahaan, seperti General Electric dengan membentuk GE Digital yang menawarkan layanan otomatisasi produktivitas industri melalui pengumpulan, pengolahan dan penganalisaan data mesin industri agar berproduksi pada tingkat yang paling optimal dan hemat energi. Demikian juga IBM, dengan mesin pembelajar Watson Oncology dan bekerja sama dengan rumah sakit kanker menyodorkan terapi terbaru yang mampu mengakses informasi baru dengan seketika. Tidak mau ketinggalan, Hitachi Ltd mulai menggeser fokus bisnisnya dengan kecerdasan buatan Lumada yang mampu memberi peringatan sebagai hasil dari pemantauan gerak di luar pola rutin para karyawan pabrik melalui kamera pemantau (CCTV) agar proses produksi tidak terganggu (Kompas, 2 Mei 2017 : “Data Memberi Daya”). Penggunaan kecerdasan buatan ini mulai marak digunakan di perusahaan-perusahaan di Indonesia (Kompas, 2 Mei 2017 : "Kecerdasan Buatan Tidak Terelakkan"), seperti : di Perusahaan Jasa Transportasi Online untuk mengetahui perubahan perilaku pengemudi atau penumpang dalam kegiatan operasional di berbagai kota, di Perusahaan Jasa Teknologi Finansial untuk layanan pinjaman antar pihak, di Perusahaan Jasa Pembelajaran Bahasa Asing untuk penyusunan modul pembelajaran otomatis sesuai respon pemelajar, di Perusahaan Jasa Penyiaran Berita.

Para ahli menyatakan bahwa saat ini "dunia" berada pada revolusi industri 3. Kehadiran Teknologi Komunikasi dan Informasi masih membawa misi mempermudah kehidupan manusia. Revolusi Teknologi sudah jauh memasuki kehidupan manusia yang membawa pada perubahan dalam tatanan sosial. Ketika otomatisasi dalam industri permesinan mempengaruhi sektor industri lainnya, ada industri tertentu yang diatur oleh pemerintah untuk tidak serta merta menggunakan mesin otomatisasi tersebut mengingat dampaknya yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat, dalam hal ini tingkat pengangguran. Ketika machine learning algorithme yang dikenal sebagai artificial intellegence-yang telah diperlengkapi dengan sensor penerima input, perekam data kuantitatif maupun kualitatif-yang senyatanya merupakan ciptaan segelintir manusia super jenius tetap mampu menpertahankan nilai-nilai kemanusiaan, tentunya selayaknya disambut dengan baik di berbagai kalangan di masyarakat. Namun, akan sangat disesali jika masyarakat dunia dijadikan sebagai ajang kompetisi dari para super jenius yang berlomba memproduksi artificial intellegence dengan pembaharuan yang terus menerus tanpa mempertimbangkan dampak terhadap kemanusiaan. Sejatinya, manusialah yang harus tetap memegang kendali atas peradaban manusia.

"Siapapun yang berhasil menguasai Artificial Intellegence (kecerdasan buatan) akan menguasai dunia", Vladimir Putin

INTERNET-BASED SOCIETY
Lau & Li (2003) mengemukakan bahwa:
The "Digital Era" refers to a time in which there is widespread, ready and easy access to, sharing of, and use of information (knowledge) in electronically accesible, i.e., digitized, form, in economic activities. The “Digital Era”is characterized by the information and communication technology (ICT) revolution and its rapid international diffusion, which has led to reductions in the costs of information, in transactions costs, and in costs of market formation but increases in timeliness of information and in precision, resolution, and quality.

Internet adalah alat transimisi elektronik yang membuat orang dapat memperoleh dan
menyampaikan informasi. Diperlengkapi ponsel yang terhubung dengan internet, maka dalam
hitungan menit ratusan juta orang terkoneksi dalam dunia daring yang menjadikannya
"wadah" baru dalam menyampaikan pendapat bahkan berekspresi.
Marr (2017) mendefinisikan : “The Internet of Things (IoT) refers to devices that collect and transmit data via the Internet and covers everythings from your smartphone, smartwatch, Fitbit band, even your TV and refrigerator”.

Dengan adanya internet, seperti yang dikatakan Scmidt & Cohen (2014), setiap orang akan senantiasa berada dalam dua dunia : dunia nyata yang telah terbentuk selama ribuan tahun, dan dunia maya yang masih sedang mencari bentuknya. Di dunia maya membuat kita dapat menikmati konektivitas dengan cepat melalui berbagai peralatan, walaupun konektivitas tidak serta merta menghapus kesenjangan yang terjadi di dunia nyata. Ternyata, di dunia nyata kita masih harus berjuang melawan berbagai rintangan, seperti rintangan geografis, keadaan lahir (lahir di keluarga kaya di negara kaya, sedangkan yang lainnya lahir di keluarga miskin di negara miskin), serta perbedaan hakikat sebagai manusia. Dengan demikian, sebagai warga dunia kita akan memiliki dua identitas, yaitu identitas di dunia nyata dan identitas di dunia maya. Bagi orang yang sudah hidup dalam keduanya, maka kedua dunianya itu tidak terpisahkan satu sama lain. Terjadinya konektivitas digital, dipastikan semua orang dapat memperoleh manfaat meski tidak senantiasa setara, paling tidak dapat meringankan beberapa penyebab yang sulit diatasi seperti minimnya kesempatan untuk belajar dan dapat mencari peluang ekonomi. Bagi perusahaan/organisasi baik di masyarakat yang paling maju maupun yang paling tertinggal, diharapkan dapat untuk membenahi keadaan pasarnya, membenahi sistemnya, membenahi berbagai hal yang tidak efisien.

Dengan konektivitas digital, selanjutnya Schmidt & Cohen (2014) mengemukakan bahwa di masa mendatang pekerjaan yang menuntut kehadiran fisik kian berkurang dan akan lebih banyak lagi pekerjaan yang terotomatisasi. Orang-orang akan bersaing memperebutkan pekerjaan antar negara akibat globalisasi yang semakin menipiskan monopoli lokal. Dalam kegiatan pendistribusian, rantai pasokan korporasi semakin pendek membuat konsumen dapat membeli barang yang diproduksi di belahan dunia lain dan barang yang dipesan dari jauh dapat tiba di tempat tujuan yang berjarak ribuan kilometer menggunakan transaksi daring. Dengan demikian, perusahaan atau organisasi harus memahami bagaimana teknologi menggerakkan perubahan besar dalam area bisnis.

Sayangnya, disamping kemudahan yang diberikan, ada harga yang harus dibayar, yaitu privasi dan keamanan. Bagi Schmid dan Cohen (2014) mempertahankan kekuasaan dan menyediakan keamanan merupakan tujuan keberadaan suatu Negara, melalui kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri. Dengan keberadaannya di dunia maya disamping di dunia nyata, maka setiap Negara juga perlu menetapkan dua versi, yaitu kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri untuk di dunia nyata serta kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri untuk di dunia maya. Kebijakan-kebijakan tersebut bisa berbeda satu dengan lainnya dimana yang satu tegas, namun yang lain dibiarkan; di dunia maya bertempur
habis-habisan, tetapi tetap memelihara perdamaian di dunia nyata. Bagi suatu Negara, yang terutama adalah mengatasi ancaman terhadap Otoritas Negara yang datang dari kondisi terkoneksi tersebut. Oleh karenanya, Negara perlu memahami bagaimana teknologi menggerakkan perubahan-perubahan besar di area pemerintahan.

Digital Economy
Ada tiga tahapan digitalisasi, sebagai berikut :
Seperti yang dikutip oleh Kustiwan (2017), bahwa Farid Subkhan, profesional di bidang
marketing dan smart city menyatakan bahwa ada tiga tahap digitalisasi :

1. Tahap Digitalisasi 1.0, teknologi sebatas menghitung atau mendokumentasi sehingga
memudahkan pengambilan keputusan.

2. Tahap Digitalisasi 2.0, teknologi sudah terhubung satu sama lain sehingga menjadi
media sosial untuk bersosialisasi.

3. Tahap Digitalisasi 3.0, teknologi memberikan akses bagi publik untuk berpartisipasi
aktif memberi tanggapan dan respon.

Lahirnya era digital, membangkitkan konektivitas global dimana orang dalam jumlah yang tak terhitung saling terhubung secara daring dan memberikan respon yang luar biasa. Hal ini merupakan sebuah keberhasilan dalam memahami bagaimana teknologi menggerakkan perubahan. Perubahan teknologi ini akan memunculkan paradigma baru yang sangat drastis perbedaannya dimasa mendatang sehingga memunculkan pertanyaan, bagaimana manusia di seluruh dunia memanfaatkan teknologi baginya, kini dan di masa mendatang.

Dalam ilmu ekonomi, indikator penting pertumbuhan ekonomi adalah produktifitas yang mengukur nilai ekonomi yang diciptakan untuk setiap satu unit input, seperti jam tenaga kerja. Semakin tinggi nilainya, menunjukkan adanya perkembangan atau kemajuan perekonomian. Peningkatan jumlah pekerjaan bersesuaian dengan peningkatan produktivitas. Dijelaskan oleh Brynjolfsson & McAfee (2014), bahwa hadirnya bisnis mendatangkan lebih banyak peluang kerja bagi para pekerja, yang merupakan bahan bakar dalam kegiatan ekonomi, dan bahkan menciptakan lebih banyak lagi pekerjaan. Namun, dikatakannya bahwa mulai awal tahun 2000 di Amerika Serikat, produktivitas terukur terus menerus mengalami peningkatan, tetapi pekerjaan mengalami kelesuan. Bahkan sejak tahun 2011, ada gap yang signifikan, yaitu pertumbuhan ekonomi tidak paralel dengan peningkatan penciptaan lapangan pekerjaan. Penjelasan Brynjolfsson & McAfee (2014) bahwa teknologi telah menyebabkan pertumbuhan produktivitas yang sehat dan pertumbuhan pekerjaan yang lemah. Kemajuan teknologi telah menghilangkan kebutuhan terhadap berbagai tipe pekerjaan, sehingga median income tidak mampu meningkat bahkan ketika gross domestic product (GCP) melonjak. Dikatakannya : It's the great paradox of our era. Productivity is at record levels, innovation has never been faster, and yet at the same time, we have a falling median income and we have fewer jobs. People are falling behind because technology is advancing so fast and our skills and organizations aren't keeping up”. Teknologi yang telah membuat pekerjaan menjadi lebih mudah, lebih aman, dan lebih produktif, ternyata menurunkan permintaan terhadap berbagai tipe pekerjaan.

Menurut Ketua Umum Indonesia E-Commerce Accosiation, Aulia E. Maurinto, seperti yang dikutip oleh Rachmawati (2017) : Indonesia merupakan negara dengan petumbuhan e-commerce tertinggi di dunia. Hal ini dikarenakan gaya hidup masyarakat Indonesia yang sudah semakin digital, membuat nilai transaksi e-commerce di Indonesia tumbuh 39,6% per tahun dan diprediksi akan mencapai 1.000 trilyun pada tahun 2020. Riset dari Bloomberg menyatakan bahwa pada 2020 lebih dari separuh penduduk Indonesia akan terlibat aktivitas e-commerce.

Bagi perusahaan yang telah mapan, untuk dapat bersaing dalam ekonomi digital, maka produk harus menjadi more customized, organisasi menjadi lebih fleksibel melalui perubahan misi, struktur dan strategi, serta pabrik menjadi virtual manufacturing. Dampak digital economy terhadap aktivitas kerja, seperti yang dilaporkan Hidayati (2017) sehubungan dengan studi McKinsey Global Institute di 46 negara pada tahun 2017, yaitu :

1. Sebagian besar pekerja akan kehilangan pekerjaan,
2. Sebagian teknisi bekerja dengan mesin yang berevolusi dengan cepat, sehingga harus terus menerus mengembangkan ketrampilan dan Keahliannya,
3. Duapuluh lima persen aktivitas chief executive officer (CEO) akan tergantikan mesin, seperti proses pengambilan keputusan dari analisis laporan keuangan,
4. munculnya pekerjaan-pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya, seperti: pengembangan teknologi informasi, manajemen sistem teknologi informasi, pembuat aplikasi perangkat keras,
5. Big data memunculkan kebutuhan terhadap ilmuwan dengan kemampuan mengolah dan
menganalisis data secara statistik,
6. Munculnya wirausaha-wirausaha baru baik yang berskala mikro maupun kecil.

Kemunculan wirausaha baru atau start-up business, tidak hanya membutuhkan ide-ide kreatif, namun juga sumber pendanaan. Modal Ventura (venture capital) merupakan lembaga keuangan yang berinvestasi dalam bentuk penyertaan modal tunai dengan memperoleh bagian saham dalam perusahaan yang membutuhkan pendanaan. Sumber pendanaan lainnya dari Crowdfunding. Crowdfunding adalah istilah untuk pengumpulan dana secara daring (online) dari orang-orang di masyarakat yang memiliki modal. Equity crowdfunding merupakan mekanisme pengumpulan dana dari masyarakat secara daring dengan imbalan berupa kepemilikan (saham) di perusahaan penggumpul dana, sedangkan loan-based crowdfunding atau peer-to-peer lending adalah mekanisme pengumpulan dana dari masyarakat secara daring dengan imbalan berupa yield, yaitu bunga pinjaman.

Peer-To-Peer Lending (P2P) merupakan perusahaan yang menghubungkan antara orang-orang yang membutuhkan modal usaha, baik untuk memulai usaha (start-up) ataupun untuk melanjutkan usaha kecil menengah, dengan orang-orang di masyarakat yang memiliki dana melalui platform online. Layanan pinjam–meminjam langsung berbasis platform digital merupakan "bantuan tersembunyi" dari orang-orang yang menaruh dananya di perusahaan teknologi finansial pinjaman sebagai sumber pendanaan dengan bunga rendah dan tanpa BI checking bagi usaha kecil menengah. Investor dapat melakukan investasi pinjaman dimanapun dan kapanpun, bahkan dapat memantau keuntungannya. Proses pengajuan pinjaman relatif mudah dan pencairan dananya relatif cepat. Ada yang mensyaratkan adanya agunan, dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah. Tapi ada juga yang tidak mensyaratkan agunan, namun dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Yang menjadi agunannya bermacam-macam, seperti tagihan dari invoice atau kontrak kerja, persediaan barang dagang (inventory), peralatan atau mesin, kendaraan bermotor, hingga tanah dan bangunan. Tenor pinjaman bervariasi mulai dari satu bulan hingga beberapa tahun, sehingga merupakan pinjaman jangka pendek. Cara pembayarannya dengan mencicil bunga tiap bulan dan membayar pokok pinjamannya dengan skema 1, 3, 6, atau 12 bulan karena tidak semua usaha kecil menengah relevan dengan pembayaran pokok bulanan.

Untuk memudahkan proses penyeleksian pinjaman, perusahaan teknologi finansial pinjaman bekerja sama dengan penyedia platform yang memiliki rekam jejak usaha kecil menengah, seperti tingkat penjualannya yang terus mengalami peningkatan. Namun ada pula yang meminta persyaratan yang lebih ketat, seperti : usaha telah berjalan minimum satu tahun, memiliki laporan keuangan walaupun sederhana, telah mencatat laba, tidak memiliki track record kredit bermasalah, inovatif, sampai yang ramah lingkungan. Perusahaan teknologi finansial pinjaman sebagai penyedia jasa platform pinjam-meminjam langsung, juga membantu pemerintah dalam meningkatkan inklusi keuangan melalui berbagai pelatihan yang diberikan, seperti : literasi keuangan, pinjaman mikro dan pemasaran daring. Disamping itu, sebagai wirausaha baru harus berkolaborasi untuk meningkatkan transaksi yang terjadi, misalnya antara : e-commerce dengan teknologi finansial (fintech) dan dengan perusahaan distribusi. Teknologi finansial memudahkan konsumen dalam sistem pembayaran transaksinya. Sementara dukungan juga diperlukan dari sistem penggudangannya serta pada bagian pengiriman barang yang melakukan pendistribusi dari gudang ke konsumen.

ERA DISRUPTIF
Schumpeter’s Theory of Creative Destruction
Dikutip dari Weis (2015), sehubungan dengan “Theory of Creative Destruction” yang dikemukakan oleh Schumpeter (1950) yang menjelaskan bahwa proses pembaharuan ekonomi terjadi melalui inovasi yang merupakan mekanisme merusak keseimbangan yang tengah terjadi dan kemudian menciptakan yang baru. Dengan demikian, inovasi merupakan faktor fundamental dalam penentu perubahan ekonomi. Schumpeter (1950) menggambarkan proses inovasi sebagai berikut :

“The opening up of new markets, foreign or domestic, and the organizational development from the craft shop and factory to such concern as U.S. Steel illustrate the same process of industrial mutation- if I may use that biological term-that incessantly revolutionize the economic structure from within, incessantly destroying the old one, incessantly creating a new one. This process of Creative Destruction is the essential fact about capitalism. It is what capitalism consists in and what every capitalist concern has got to live in.”

Bagi Schumpeter (1950), sehubungan dengan hasrat untuk mencipta, maka entreprenuer merupakan figur yang bersedia dan berkemampuan untuk mengimplementasikan ide-ide dan penemuan-penemuan barunya menjadi inovasi yang berhasil. Dengan tecnological innovation, entrepreneurs mengembangkan output-output baru melalui tahapan proses baru sehingga menciptakan suatu keadaan yang dapat menyingkirkan para pesaingnya dan imitators. Keadaan ini menggambarkan suatu persaingan. Dalam pandangan Schumpeter (1950), persaingan merupakan proses penciptaan pengetahuan baru dalam sistem ekonomi yang berkompetisi, sehingga menghancurkan lapangan kerja tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, entreprenuer merupakan agen perubahan. Weis (2015) mengemukakan bahwa perusahaan yang inovatif berbeda dari perusahaan tradisional yang secara aktif melakukan perubahan-perubahan. Menjadi inovatif merupakan aspek penting yang tertanan dan berakar dalam visi, strategi dan budaya perusahan.

Christensen’s Theory of Disruptive Technology
Disruptif adalah sebuah gangguan yang di era digital ini muncul dari hasil inovasi berbasis teknologi dimana kemunculannya menjadi tantangan terhadap kemapanan bisnis yang telah ada. Istilah “Disruptive Technology” pertama kali diperkenalkan oleh Clayton M. Christensen, seorang profesor di Harvard Business School yang ahli di bidang inovasi dan pertumbuhan. Pada tahun 1997, dalam bukunya berjudul “The Innovator's Dilemma”, Chistensen (1997) mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan yang berada pada tahap kedewasaan (mature phase) dalam daur hidupnya (firm life cycle) dengan proses produksi berbasis sustainable technology, akan menghadapi suatu dilema. Dilema yang dihadapi itu, diakibatkan perusahaan-perusahaan tersebut melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mempertahankan kesuksesannya, yaitu : melakukan investasi dalam kapasitas produksi yang masif untuk dapat terus beroperasi untuk memenuhi keinginan konsumennya. Dampaknya, perusahaan-perusahaan tersebut berpeluang menghadapi resiko ketika mengabaikan inovasi yang muncul dari penantang baru. Disruptive technology yang muncul tersebut, seiring dengan waktu, dikembangkan terus menerus dan pada akhirnya menantang produk-produk yang dihasilkan dengan sustainable technology - attack from below. Theory of disruptive
innovation bermaksud menjelaskan adanya kegagalan bisnis terkemuka yang sekaligus menjadi peringatan bahwa hal tersebut senatiasa akan terus terjadi dari waktu ke waktu dan dari industri ke industri.

Pernyataannya sehubungan dengan disruptive innovation tersebut kemudian disitasi dalam berbagai artikel jurnal maupun media masa yang kemudian memunculkan perdebatan akibat dari kesalahpahaman pemahaman. Salah satu artikel mempertanyakan : Bagaimanakah Christensen's theory of disruptive innovation dapat diaplikasikan secara luas?. Disamping itu, ada penelitian yang melakukan pengujian terhadap Christensen's Theory of Disruptive Innovation yang memberikan hasil yang tidak membenarkan teori tersebut, bahkan menyatakan yang sebaliknya bahwa sebagian besar manajer memberikan respon secara efektif terhadap ancaman-ancaman yang berpotensi mengganggu (potentially disruptive threats). Pertanyaan dan penelitian tersebut mendorong King & Baatartogtokh (2015) melakukan pengujian sehubungan dengan seberapa baikkah Christensen's theory of disruptive innovation dalam menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam bisnis. Studi ini melibatkan 77 kasus untuk menguji empat faktor kunci yang ada pada theory of disruption innovation sehubungan dengan incumbent companies, yaitu : 1. melakukan inovasi yang berkelanjutan (sustaining innovation), 2. menyediakan produk dan jasa melampaui yang dibutuhkan konsumen, 3. memiliki kapabilitas untuk merespon ancaman-ancaman yang menggangu walaupun gagal dalam melawan penggangu-pengganggu potensialnya, 4. Pada akhirnya terjadi pengambilahan pasar.

Hasil wawancara dengan para ahli menunjukkan bahwa hanya 9% kasus yang bersesuaian dengan keempat elemen pada teori tersebut. Selebihnya, adanya perbedaan yang mencolok antara kasus yang senyatanya dengan elemen-elemen pada Christensen's Theory of Disruptive Innovation, yaitu: 1. tidak semua bisnis memiliki sustaining innovation, bahkan berdekade-dekade ada yang tidak mengalami perubahan, 2. tidak semuanya menyediakan melampaui yang dibutuhkan konsumen, 3. kebanyakan tidak memiliki kapabilitas untuk merespon gangguan yang potensial. 4. ada bisnis yang pada akhirnya ditutup, namun bukan karena disruptive innovation, namun karena perubahan kondisi atau bahkan tuntutan masyarakat. Jadi, mengasumsikan bahwa disruptive innovation akan selalu mengalahkan sustaining innovation, maka dinyatakan bahwa Christensen's Theory of Disruptive Innovation membuat sejumlah prediksi yang keliru. Salah satu sumber kegagalannya adalah adanya asumsi yang tidak tepat. Namun, disadari bahwa Christensen's Theory of Disruptive Innovation telah memberikan peringatan terhadap praktek-praktek manajerial tertentu yang harus direduksi serta peringatan agar senantiasa menganalisa secara hati-hati terhadap keputusan-keputusan yang sulit, menganalisa kondisi persaingan, dan menganalisa sumber-sumber keunggulan bersaing.

Dalam studinya, Christensen (2006) kemudian menegaskan bahwa disrupsi bukanlah masalah teknologi, melainkan masalah model bisnis. Hasil wawancara dengan Christensen yang dilaporkan dalam Nieman Report pada 2012 dengan judul laporan "Be The Disruptor" mengemukakan bahwa pada setiap kegiatan bisnis akan ada pola berulang dengan munculnya pemain baru yang ketika masuk pasar menawarkan dengan harga yang lebih murah dan dengan cara yang lebih mudah sehingga kehadirannya tidak dipertimbangkan. Namun, dengan melakukan perbaikan yang tiada henti, maka pemain baru tersebut menjadi pemain utama dalam bisnisnya. Selanjutnya, pada delapan belas tahun kemudian, Christensen, Raynor, Altman and McDonald (2015) melakukan klarifikasi dengan memberikan sebuah ringkasan, penelusuran penelitian sehubungan disruptive innovation serta pengelompokkan untuk penelitian lebih lanjut :

“Disruption describes a process whereby a company with fewer resources is able to successfully challenge established incumbent businesses. Specifically, as incumbents focus on improving their products and services for their most demanding (and ussually most profitable) customers, they exceed the needs of some segments and ignore the needs of others. Entrants that prove disruptive begin by successfully targeting those overlooked segments, gaining a foothold by delivering more-suitable functionality-frequently at a lower price. Incumbents, chasing higher profitability in more-demanding segments, tend not to respond vigorously. Entrants then move upmarket, delivering the performance that incumbents‟ mainstream customers require, while preserving the advantages that drove their early success. When mainstream customers start adopting the entrants‟offerings in volume, disruption has occurred.”

Agar dapat meningkatkan kemampuan bersaing, maka diperlukan strategi yang responsif dan adaptif sebagai hasil dari membuka diri selebar-lebarnya terhadap pemikiran dan kegiatan yang inovatif.

Lebih lanjut, Christensen et. al (2015) kemudian mengelompokkan topik-topik penelitian disruptive innovation kedalam empat kategori, yaitu : 1. performance trajectories yang menunjukkan dimana disrupsi bisa terjadi, 2. response strategies and hybrids yang memberikan cara-cara bagaimana incumbent menghadapi disruptif, 3. platform businesses yang bermitra dengan startups' technology, 4. innovation metrics yang memunculkan kembali merek perusahaan dalam peran barunya. Hal ini dilakukan dengan harapan akan memunculkan diskusi akademik yang kemudian mendorong bukan hanya penyelenggaraan penelitian yang memberikan kontribusi teoritis namun juga penyelenggaraan penelitian empiris yang mempersiapkan perusahaan-perusahaan dalam era disruptif.

Menanggapi pengembangan konsep inovasi disruptif yang dikembangkan dalam berbagai sektor bisnis khususnya dalam industri media di Indonesia, Haryanto (2017)

menyatakan bahwa dengan adanya penemuan internet, maka hampir semua industri mengalami apa yang Rhenald Kasali nyatakan sebagai "musuh-musuh yang tidak kelihatan". Sehubungan dengan adanya "musuh-musuh yang tidak kelihatan", menurut Kasali (2017) pelaku bisnis harus senantiasa memikirkan ulang strategi-strategi yang digunakannya dikarenakan adanya kemungkinan gangguan (disrupsi) dari kompetitor baru yang menggunakan penemuan teknologi baru. Untuk itu, beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah : 1. selalu memikirkan kepentingan audiences, 2. Mempersiapkan cara mengatasi disrupsi yang mungkin terjadi, 3. memahami peran budaya, 4. Mengevaluasi sumber daya yang dimiliki, 5. mengevaluasi pola interaksi menuju efisiensi, 6. Melakukan penetapan prioritas tindakan. Kesimpulannya, pada sisi produsen milikilah pola dinamis, yaitu bersedia untuk terus belajar, terus berinovasi, terus bereksperimen untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa dilakukan.

Adanya akses yang bersifat "mobile" membuat konsumen diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan terhadap input-input yang diberikan. Dengan memberikan peluang terhadap keterlibatan konsumen (customer engagement) dalam proses pembuatan produk atau penyampaian jasa, maka berdampak pada cara desain maupun cara pemasaran dari produk ataupun jasa yang dihasilkan, yaitu menjadi customization. Dengan demikian, disrupsi dapat berasal dari sisi penawaran, maupun dari sisi permintaan.

Hidayati (2017) melaporkan sehubungan dengan era disruptif yang diakibatkan inovasi di bidang digital, menurut The Manufacturing Institute dan Deloitte yang dikutip The Economist, bahwa pada tahun 2025 di Amerika Serikat diprediksi akan terjadi "lowongan pekerjaan yang hangus" dimana dua juta dari tiga setengah juta posisi diperkirakan tidak akan terisi. Hal ini disebabkan, kurangnya tenaga kerja trampil di bidang manufaktur. Untuk mengatasinya, dilakukan kolaborasi antara dunia pendidikan dengan perusahaan manufaktur dalam mempromosikan skema pelatihan inovatif. Juga di Indonesia, diperlukan sekolah vokasi dengan kurikulum dan proses belajarnya yang terintegrasi sepenuhnya dengan industri, karena penyiapan tenaga kerja yang kompeten menjadi fokus perhatian semua pihak. Pernyataan sehubungan dengan "disruption" yang diungkapkan oleh Klaus Schwab, yaitu : “The question is not am I going to be disrupted but when is disruption coming, what form it take and how will it affect me and my organisation?”.

FIRM LIFE CYCLE
Perusahaan-perusahaan yang berpeluang menghadapi dilema akibat mempertahankan sustaining innovation, seperti yang disampaikan Clayton M. Christensen, merupakan perusahaan-perusahaan yang sudah berada pada tahap kedewasaan (mature phase) dalam daur hidupnya (firm life cycle). Sehubungan dengan daur hidup perusahaan, ada dua kondisi yang perlu mendapat perhatian. Yang pertama, memahami pada tahapan manakah perusahaan berada. Yang kedua, keputusan manakah yang menjadi prioritas terkait pada tahapan mana perusahaan berada.

Yang pertama, pada tahapan manakah dalam daur hidupnya perusahaan berada, ternyata tidak dapat ditetapkan dengan mudah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tahapan daur hidup perusahaan yang diusulkan sebagai hasil studi atau penelitian. Seperti pada daur hidup manusia (human life cycle) atau pada daur hidup produk (product life cycle), tahapan daur hidup perusahaan (firm life cycle) dibagi ke dalam empat tahapan, yaitu tahap kelahiran (birth or introduction phase), tahap pertumbuhan (growth phase), tahap kedewasaan (maturity phase) dan tahap penurunan (decline phases), Pashley & Philippatos (1990). Ada peneliti yang menggunakan hanya tiga tahapan, Anthony dan Ramesh (1992). Namun ada juga yang menambah satu tahapan, yaitu tahapan kebangkitan (revival phase), Miller & Friesen (1984). Sehubungan dengan tahapan daur hidup perusahaan, pada dasarnya, semua perusahaan akan berada pada tahapan kelahiran (birth phase). Tetapi tidak ada ketetapan berapa lama sebuah perusahaan berada pada tahapan ini. Yang pasti, tahapan ini merupakan tahapan yang paling singkat diantara tahapan lainnya dan tidak diperdebatkan bahwa tahapan kelahiran hanya terjadi satu kali dalam sejarah hidup perusahaan. Setelah itu, perusahaan masuk pada tahapan pertumbuhan. Pada tahapan inilah banyak start-up business yang tidak dapat bertahan.

Perdebatan lainnya adalah, apakah perusahaan dapat kembali mengalami tahapan yang telah dijalani sebelumnya. Jadi, setelah perusahaan berada pada tahapan kedewasaan, perusahaan dapat kembali berada pada tahapan pertumbuhan. Kelompok yang menyetujui pemikiran tersebut mendasarkannya atas keputusan perusahaan untuk beralih pada penggunaan teknologi baru, membuat indikator kinerja perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan berada pada tahapan sebelumnya, tahapan pertumbuhan. Kembali ke tahapan sebelumnya karena mempertimbangkan menggunakaan teknologi baru akibat adanya pesaing baru, seperti yang diungkapkan dalam Disruptive Theory, bukanlah pilihan yang menarik bagi perusahaan. Bagi perusahaan yang tengah berada pada tahapan dewasa, yang terpenting adalah mempertahankan konsumen utama dengan sustaining technology.

Beragamnya jumlah tahapan dalam daur hidup perusahaan ternyata disebabkan belum adanya metodologi yang robust. One of the reason is “the difficulty to asses firm life cycle stage because it is a composite of many overlapping but distinct product life cycle stages”, Dickinson (2010). Salah satu penyebab permasalahan kurangnya metodologi penetapan daur hidup perusahaan adalah pemilihan tipe dan jumlah variabel penelitian yang digunakan. Yan & Zhao (2010) menggunakan hanya satu variabel penelitian, yaitu pertumbuhan penjualan, sedangkan Miller & Fiesen (1984) menggunakan dua variabel penelitian, yaitu umur perusahaan dan perumbuhan penjualan. Ada yang menggunakan tiga variabel penelitian : operating cash flow, investing cash flow, dan financing cash flow, Gort & Klepper, 1982, yang diimplementasikan pada Dickinson (2005). Penggunaan variabel yang berbeda dapat berdampak pada temuan yang berbeda. Salah satu variabel yang paling sering digunakan dalam penelitian daur hidup perusahaan adalah variabel penjualan, Spence (1979). Dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan oleh Yan & Zhao (2010) serta menggunakan variabel penjualan dan umur perusahaan, Irawan dan Intanie (2016) melakukan evaluasi tahapan daur hidup perusahaan di fabricated metal products sector. Hasilnya, dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan Yan & Zhao (2010), ada satu perusahaan yang tidak dapat diidentifikasi tahapan daur hidupnya.

Kondisi kedua, mengenai adanya berbagai keputusan yang berbeda-beda pada tahapan yang berbeda-beda membuat konsep daur hidup perusahaan menjadi konsep yang penting dalam pengambilan keputusan. Strategi yang terbukti efektif digunakan pada tahap tertentu di masa lalu, ternyata menjadi tidak sesuai digunakan dalam perkembangan tahap selanjutnya, Greiner (1998). Strategi yang tepat pada tahapan daur hidup yang tepat menunjukkan kemampuan perusahaan dalam beradaptasi. Pemilihan strategi manajemen yang tepat-bersedia beradaptasi terhadap kondisi internal dan ekstenal perusahaan, hanya 6% perusahaan pada sektor industri manufaktur periode IPO masing-masing perusahaan hingga Desember 2015, menunjukkan kemampuan perusahaan menstabilkan penjualannya setiap berada pada tahapan tertentu, namun menunjukkan adanya peningkatan penjualan ketika diperbandingkan antara satu tahapan dengan tahapan selanjutnya, Irawan dan Dewi (2017). De Angelo, De Angelo & Stulz, (2006) mengemukakan bahwa struktur perusahaan dan kebijakannya dapat dijelaskan menggunakan daur hidup perusahaan. Demikian juga dengan Lester, Parnell dan Carrahaer, (2003) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara daur hidup perusahaan dengan competitive strategy. Dengan memahami keputusan apa yang perlu mendapat perhatian terkait tahapan daur hidup perusahaan, maka perusahaan dapat bereaksi secara tepat adalam rangka mengantisipasi pengembangan atau perubahan yang diperlukan perusahaan, Quinn and Cameron, (1983) seperti yang dikutip oleh Stepanyan, 2012. Dengan demikian, Disruptive Theory menambah satu keputusan penting yang harus dipertimbangkan perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang telah berada pada tahapan kedewasaan, jika tidak ingin masuk dalam tahap akhir, decline phase, yang kemudian menjadi tidak lagi eksis.

GENERASI MILENIAL
“Generasi Milenial adalah generasi yang terlahir dalam kisaran 1980-2000, sebagian generasi Y (lahir tahun 1980) dan sebagian generasi Z (lahir tahun 2000). Generasi ini dikenal sebagai generasi yang "bergaul erat" dengan teknologi komunikasi dan informasi, yaitu : melalui internet berselancar di dunia maya dalam memperoleh informasi dan berkomunikasi melalui sosial media. Perbedaan mencolok dengan generasi sebelumnya ditunjukkan dalam pola berbelanja. Generasi pendahulunya memerlukan keyakinan yang tinggi terlebih dahulu akan keadaan barang yang akan dibelinya, sehingga mengharuskan dirinya untuk memeriksa kondisi riil barang tersebut di lapangan sebelum memutuskan untuk membelinya. Sementara generasi Y maupun Z sudah bisa mempercayai kondisi barang yang akan dibelinya dengan hanya melihatnya melalui internet. Demikian pula dengan sumber informasinya, baik informasi yang paling umum hingga yang bersifat ilmiah, semuanya dilakukan dengan searching di internet. Padahal generasi sebelumnya memperoleh informasi dari berbagai sumber, seperti : membaca media cetak untuk memperoleh "opini", melihat televisi untuk memperoleh berita terkini, mendengarkan radio untuk informasi sehubungan dengan iklan, bahkan mengunjungi perpustakaan untuk memperoleh bahan bacaan ilmiah.

Terkoneksi merupakan kata kunci dari generasi milenial yang hanya dimungkinkan ketika memiliki teknologi komunikasi namun juga "sinyal" yang membuat keterhubungan satu dengan lainnya. Berbagai daerah di negeri Indonesia saat ini belum dapat dijangkau akibat tidak ada "sinyal". Jadi di berbagi tempat, banyak generasi muda usia 17 – 29 yang seharusnya menjadi generasi milenial namun tidak dimungkinkan. Sebaliknya, banyak generasi yang tidak muda lagi usianya di kota-kota besar di Indonesia namun justru memiliki kebergantungan terhadap teknologi informasi dan komunikasi tersebut.

Sehubungan dengan generasi Y dan Z, hasil penelitian Alvara Research Center yang dikutip oleh Muhammad (2017) mengungkapkan tiga karakter unggul generasi milenial, yaitu
1. creative : berpikir out of the box, kaya ide dan gagasan, 2. confidence : percaya diri sehingga berani mengungkapkan pendapat, 3. connected : pandai bersosialisasi dalam komunitasnya. Terkoneksi saat berkomunikasi melalui sosial media membuat dunia bagi generasi milenial seolah-olah menjadi "sempit", selebar sebuah "desa". Kata "desa" membawa ingatan pada jaman dimana generasi muda memiliki rasa hormat kepada generasi yang lebih tua, generasi muda menerima pembelajaran etika serta norma-norma sopan santun maupun tata krama
dalam masyarakat, saling bekerja sama dan bergotong royong. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Okthariza (2017) peneliti di Centre for strategic and International Studies (CSIS) tentang persepsi generasi milenial di Indonesia menunjukkan yang dinyatakannya dengan "hasil yang merisaukan". Temuannya, mayoritas anak muda Indonesia percaya terhadap dampak negatif yang dibawa globalisasi dan pasar bebas jauh lebih besar dibandingkan sisi positif yang bisa didapat. Juga, mayoritas anak muda Indonesia percaya bahwa masuknya barang-barang dari luar negeri berdampak buruk bagi mereka, padahal mereka adalah pengguna gadget terbesar di negeri ini. Selain itu, mayoritas anak muda Indonesia percaya bahwa globalisasi adalah sumber merebaknya konsumerisme dan individualisme, melemahkan ajaran-ajaran agama, serta meruntuhkan rasa nasionalisme terhadap negara. Kesimpulannya, tingginya pengguna media sosial di Indonesia tidak dibarengi sikap positif terhadap praktek toleransi. Hal ini dihubungkan dengan tingkat pendidikan yang semakin baik akan memberikan kemampuan memilah dan mencerna secara
akurat timbunan informasi. Persoalannya, anak muda yangmengeyam pendidikan tinggi itu terkonsentrasi di kota-kota besar. Di banyak tempat di negeri ini, sulitnya akses pendidikan masih menjadi isu krusial yang menghambat perkembangan sumber daya manusia. Survei ini sekaligus menjadi bukti bias urban mengenai generasi milenial ini. Jadi, dari segi perilaku sosial ekonomi, secara umum generasi milenial Indonesia tidak berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Alvara Research Center mengemukakan juga bahwa ketergantungan yang tingi pada media sosial mempengaruhi watak generasi milenial yang cenderung bebas, tak memperhatikan aturan formal, etika dan adat istiadat serta tata krama. Disamping itu, dengan mengandalkan pada internet, maka generasi milenial tidak memiliki kebiasaan yang baik, malah cenderung malas, tidak mendalam, tidak membumi, tidak bersosialisasi, lemah dalam nilai kebersamaan, kegotongroyongan, kehangatan lingkungan dan kepedulian sosial. Budaya hidup yang diadop suatu generasi, akan muncul dalam budaya kerjanya. Budaya kerja generasi milenial ini ditengarai berpeluang memunculkan ketidakselarasan (conflict) terutama pada perusahaan-perusahaan yang dalam kemajuan teknologi yang capainya, mereka masih mempertahankan budaya kerja generasi sebelumnya.

Sehubungan dengan pekerjaan yang sesuai bagi generasi milenial, dari budaya hidupnya sudah dapat diduga bahwa mereka akan memilih untuk bekerja lepas, yaitu tidak terikat waktu kerja dan tidak terikat aturan-aturan di perusahaan. Yang utama bagi generasi milenial adalah memiliki banyak koneksi, dapat mengembangkan keahlian yang bisa jadi merupakan kegemarannya, dapat membuat mereka bekerja kreatif. Kecenderungan bekerja lepas ini dapat diprediksi dari adanya beberapa orang tertentu pada generasi sebelumnya yang menunjukkan sifat seperti generasi milenial sekarang ini. Mereka memilih untuk memiliki usaha sendiri, sehingga dapat menerima pesanan langsung dari konsumen individu. Tapi, tidak sedikit yang mengerjakan pesanan dari perusahaan atau organisasi tertentu. Dengan semakin tingginya persaingan di era digital dan semakin meningkatnya tenaga kerja dari generasi milenial, maka pekerjaan-pekerjaan yang menuntut kreatifitas dan berbasis digital dapat diserahkan kepada mereka untuk dikerjakan di rumah atau di kafe atau di berbagai tempat tertentu lainnya yang diinginkan. Dengan berkolaborasi, perusahaan dapat memperoleh ide kreatif yang didatangkan dari luar perusahaan. Kerjasama seperti ini membuat perusahaan dapat lebih efisien namun juga menjadi lebih kreatif. Dengan demikian, pada masa mendatang, perusahan dapat tetap memiliki karyawan dari generasi sebelumnya
yang bekerja di kantor dengan jam kantor seperti yang telah ditetapkan. Sementara, karyawan
dari generasi milenial bekerja di luar kantor. Hanya saja, perushaaan perlu memfasilitasi agar
tetap terjalin komunikasi diantara kedua generasi tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Konfigurasi 1 Server, 1 Router, 2 SW, 4 Client

TUGAS 1 Saya akan membuat konfigurasi pada Cisco Packet Tracer yaitu dengan mengandalkan 1 Server, 2 Switch, 1 Router, serta 4 Client Pertama Kita buat skema jaringannya terlebih dahulu kemudian kita pikirkan dulu konfigurasinya seperti apa dan bagaimana. Nah kalo skemanya sudah kita buat selanjutnya kita mulai konfigurasi “Biar Gak Kelamaan Mikir hehe". Konfigurasi Server terlebih dahulu Disni kita buat IP Servernya yaitu menggunakan IP Static. Kemudian kita ke Services , aktifkan terlebih dahulu (on) pada DHCPnya seperti itu konfigurasi yang saya buat, disitu saya menggunakan default Gateway tapi jika tidak mau ribet cukup masukkan saja DNS Servernya atau IP server yang sudah di buat sebelumnya. Masih di Services , selanjutnya setup DNSnya, saya menggunakan Name Server nya van.com atau anda bisa buat dengan nama yang anda inginkan, kemudian pada Address-nya saya menggunakan IP Servernya. Pada halaman HTTP anda bisa edit

Tutorial Pembuatan PCB Layout Flip Flop Dengan Diptrace

Flip Flop. Flip-flop adalah rangkaian digital yang digunakan untuk menyimpan satu bit secara semi permanen sampai ada suatu perintah untuk menghapus atau mengganti isi dari bit yang disimpan. Prinsip dasar dari flip-flop adalah suatu komponen elektronika dasar seperti transistor, resistor dan dioda yang di rangkai menjadi suatu gerbang logika yang dapat bekerja secara sekuensial. Berikut ini adalah bagaimana membuat rangkaian PCB Layout-nya : 1. Buka software Diptrace terlebih dahulu (pilih PCB Layout). Tampilan awal saat menjalankan Diptrace. 2. Maka tampilan awalnya akan seperti ini. Tampilan awal PCB Layout. 3. Pilih komponen yang akan dibuat untuk rangkaian flip flop. Komponen rangkaian flip flop. 4. Setelah semua komponen dipilih maka selanjutnya kita hubungkan masing-masing komponen dengan (route manual). Komponen rangkaian flip flop yang sudah dihubungkan. 5. Jika tahap ke-4 sudah selesai selanjutnya kita buat backgroundnya

Sistem Keamanan Jaringan Dan Keamanan Informasi

Sistem Keamanan Jaringan Keamanan jaringan adalah suatu cara atau suatu system yang digunakan untuk memberikan proteksi atau perlindungan pada suatu jaringan agar terhindar dari berbagai ancaman luar yang mampu merusak jaringan. Tujuan membuat keamanan jaringan adalah untuk mengantisipasi resiko jaringan berupa bentuk ancaman fisik maupun logic baik langsung ataupun tidak langsung yang dapat mengganggu aktivitas yang sedang berlangsung dalam jaringan. Satu hal yang perlu diingat bahwa tidak ada jaringan yang anti sadap atau tidak ada jaringan yang benar-benar aman. karna sifat jaringan adalah melakukan komuikasi, dan setiap komunikasi dapat jatuh ke tangan orang lain dan di salah gunakan. Oleh sebab itu keamanaan jaringan sangatlah dibutuhkan. Yang harus dilakukan ialah mengenal beberapa ancaman keamanan jaringan. Serangan terhadap keamanan sistem informasi (security attack) akhir-akhir ini seringkali terjadi kejahatan komputer/cyber crime pada dunia maya seringkali di lak